Tren Naik Turun Suara Golkar dari Pemilu ke Pemilu

Jakarta,  — Kepemimpinan Airlangga Hartarto di pucuk pimpinan Partai Golkar tengah digoyang melalui isu musyawarah nasional luar biasa (munaslub).

Sikap Golkar yang gamang belum menentukan sikap di Pemilu 2024 disebut jadi salah satu landasan. Elektabilitas Golkar yang menunjukkan tren negatif padahal Pemilu 2024 kian dekat juga jadi sorotan.

Menteri Investasi/Kepala BKPM yang juga kader Golkar Bahlil Lahadalia bahkan menyebut Partai Golkar dalam kondisi genting atau lampu kuning.

Bahlil menyoroti elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu hanya berkisar 6 persen saja pada 2023 meski sempat mendapat 13 persen pada Pemilu 2019.

Sudah lampu kuning. Dari 2 digit menjadi 1 digit, 6 persen pula. Padahal, dulu dalam survei (2019) itu 10 persen, tapi dapat 13 persen,” ujar Bahlil saat menemui pemimpin media massa, Sabtu (22/7) .

Pada Pemilu 2004, Golkar tampil jadi pemenang pemilu dengan meraih 24.480.757 suara (21,58 persen suara sah nasional) dan mengamankan 127 kursi DPR. Agung Laksono diangkat sebagai Ketua DPR periode 2004-2009.

Sementara dalam kontestasi Pilpres 2004, Jusuf Kalla yang merupakan kader Golkar maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasangan SBY-JK menang.

JK pun terpilih menjadi ketua umum Golkar. Ia lantas membawa Golkar bergabung dalam koalisi pemerintahan SBY.

Pada Pemilu 2009, JK dan SBY berpisah jalan. JK memutuskan maju sebagai calon presiden yang diusung Golkar melawan SBY.

Kala itu perolehan suara Golkar turun ke posisi kedua. Golkar memperoleh 15.037.757 suara (14,45 persen suara sah nasional) dan 106 kursi DPR.

Berlanjut ke Pemilu 2014, Golkar kembali tak menjadi pemenang. Mereka mendulang 18.432.312 suara (14,75 persen) dan mengamankan 91 kursi DPR.

Pada saat itu PDIP yang keluar menjadi pemenang dengan 23.681.471 suara (18,95 persen) dan 109 kursi DPR. Dalam gelaran Pilpres, JK kembali maju sebagai cawapres. Kali ini mendampingi Joko Widodo (Jokowi).

Pasangan Jokowi-JK menang melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Terjadi konflik internal di tubuh Golkar selepas Pilpres.

Muncul dualisme kepemimpinan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Kelompok Ical ingin Golkar menjadi oposisi, sementara Agung Laksono ingin membawa Golkar merapat ke pemerintah Jokowi-JK.

Pada akhirnya Golkar masuk dalam kabinet Jokowi-JK. Koalisi Golkar terus berlanjut dan ikut mengusung Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilu 2019.

Pada Pemilu 2019, Golkar mendulang 17.229.789 suara (12,31 persen). Secara perolehan suara, Golkar kalah dari Partai Gerindra yang mendapat 17.596.839 suara (12,57 persen).

Meski begitu, perolehan kursi DPR RI Golkar lebih banyak dari Gerindra. Golkar mengamankan 85 kursi, sedangkan Gerindra 78 kursi.

Jelang Pemilu 2024 yang tersisa 7 bulan, elektabilitas Golkar mengalami pasang surut. Survei LSI Denny JA periode Januari 2023 menyatakan elektabilitas Golkar sebesar 13,8 persen.

Elektabilitas Golkar berada di atas Gerindra yang merengkuh 11,2 persen. Namun, tertinggal cukup jauh dari PDIP dengan perolehan 22,7 persen.

Kemudian Survei Litbang Kompas Mei 2023 menunjukkan elektabilitas Golkar 7,3 persen. Menurun 1,7 persen dibanding Januari 2023 (9 persen).

Selain itu, survei Indikator Politik Indonesia Juni 2023 menempatkan Golkar di posisi ketiga dengan perolehan 9,2 persen. Golkar tertinggal cukup jauh dengan posisi pertama, PDIP dan kedua, Gerindra. Secara berurutan mereka meraih 25,3 persen dan 13,6 persen.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia periode Juli 2023 elektabilitas Golkar berada di bawah PDIP, Gerindra, dan PKS. Mereka hanya meraih 6,0 persen.

PDIP memimpin dengan 23,7 persen, disusul Gerindra di posisi kedua sebesar 14,2 persen, dan PKS 6,2 persen. (*)

Related posts